Menjelang sore, riuh warga Kampung Bahari Jakarta Utara, mulai berdatangan, mendorong troli untuk memuat banyak barang. Mereka berdagang di tepi rel kereta api Tanjung Priuk. Tidak berdagang seperti di pasar pada umumnya. Perdagangan di tempat yang pernah menjadi stasiun kebanggaan warga Batavia ini adalah perdagangan seks bantalan rel kereta. Orang pelabuhan biasa menyebutnya ‘Pela-pela.’
Malam semakin larut, suara musik mulai terdengar. Tarif yang murah membuat pela-pela menjadi tempat jual beli seks yang menggugah selera. Penggemarnya terdiri dari buruh pelabuhan, tukang ojek, hingga pemuda tanggung yang tidak punya banyak uang. Cukup merogoh kocek lima puluh ribu rupiah (bisa nego), pria hidung belang bisa bercinta ditemani deru musik kereta yang sesekali melintas menghiasi rona Pela-pela.
Lepas subuh, arena sex terselubung kembali sepi, satu persatu tenda dan minuman pemuas nafsu dibawa pulang bersama keuntungan yang didapat setelah semalam suntuk menggoda. Pela-pela, selalu ramai di malam hari seolah menyembunyikan potret megah Stasiun Tanjung Priok yang didirikan tahun 1914 pada masa Gubernur Jenderal A.F.W Idenburgh.
Pada tahun 70-an, hingga era milenial dimulai, pela-pela menjadi satu-satunya lokalisasi terselubung yang paling di gemari, terutama bagi buruh pelabuhan. Tumbuhnya prostitusi terselubung tidak terlepas dari sempitnya ruang-ruang yang dilegalkan oleh Pemerintah, pasca penggusuran Kramat Tunggak (2005), satu-satunya lokalisasi yang disahkan di era Gubernur Ali Sadikin, mata rantai prostitusi legal tak terkendali, muncullah lokalisasi dari kelas jalan raya hingga bantalan rel kereta.
Jarak sosial yang jauh antara penguasa dengan masyarakat menyebabkan banyak kaum urban yang tidak mau berkompromi dengan nasibnya, hingga akhirnya memicu ribuan wanita penjual seks membanjiri tanah tak bertuan, tentunya berdampak pada penyebaran penyakit kelamin. Perhatian sosialisasi dari pemerintah sangat dibutuhkan, namun apapun kekuatannya, banyak kepentingan untuk mencari sesuap nasi meski dengan cara yang tidak diinginkan.
Terlahir di pesisir Utara Jakarta. Mengenal foto jurnalistik ketika belajar di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Tahun 2014, terpilih sebagai salah satu peserta program Permata Photo Journalist Grant (PPG), program yang didedikasikan bagi pengembangan pewarta foto muda di Indonesia. Juga sempat mengikuti Training of Trainer (TOT), pelatihan untuk pengajar di bidang pendidikan fotografi. Selain sebagai nelayan di teluk Jakarta, Ilyas aktif mendokumentasikan kehidupan nelayan dari Sabang-Merauke, kini Ilyas mendedikasikan pengetahuannya kepada anak-anak pesisir Jakarta dengan mendirikan Kelas Jurnalis Cilik.
"This website uses cookies to enhance user experience, analyze site traffic, and deliver personalized content. By continuing to browse this site, you acknowledge and accept our use of cookies as outlined in our Cookie Policy, which you can access for further information and details on how to manage your cookie preferences."