Angkaribung

scroll down

Aktivitas pertambangan di kawasan Karst Citatah telah berlangsung sejak tahun 1970an, dimulai dari menggunakan alat manual seperti palu, bahan peledak, sampai hari ini menggunakan alat berat seperti beko. Mudahnya akses menjadi pekerja tambang menjadi salah satu alasan mengapa sebagian masyarakat yang berada di kawasan Karst Citatah memilih untuk menambang.

Mayoritas pekerja yang masih memegang status buruh harian lepas ini harus bekerja dengan resiko yang mengancam mereka. Rawannya bebatuan yang jatuh, debu kapur serta asap hasil pembakaran yang terhirup menjadi ancaman yang selalu mengintai mereka ketika bekerja.

Uwa (bukan nama aslinya) (56), adalah salah satu warga Kampung Lampegan yang sudah terhitung lama bekerja di pertambangan batu kapur. Ia telah bekerja dalam pertambangan sejak tahun 1990an dan bisa menghidupi istri serta ke empat anaknya, termasuk yang paling bungsu yang baru saja masuk Madrasah Ibtidaiyah (MI). Keluarga Uwa tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan Uwa sebagai penambang. Walaupun beresiko, mereka percaya akan takdir Tuhan. Dari pekerjaannya membelah batu menggunakan beko ini ia bisa memperoleh pemasukan 1 juta rupiah per minggunya, itu pun jika dia bekerja setiap hari. Selama bekerja di pertambangan dia mengaku tidak pernah memiliki penyakit pernafasan. Jikapun sakit itu hanya sakit biasa seperti demam.

Namun anaknya yang kedua, Agus, yang kini bekerja sebagai penambang juga sejak tahun 2010, mengalami gangguan pernafasan yang dia idap sejak dia kecil hingga sekarang. Dia sering memeriksakan penyakitnya tersebut ke puskesmas terdekat, dia tidak bisa memastikan apakah pertambangan menjadi faktor penyakitnya tersebut. Penyakit gangguan pernafasan itu tidak menghentikan tekad Agus untuk tetap bekerja di pertambangan demi bisa menyambung hidup dia dan keluarganya.

Ade (bukan nama aslinya), hampir 3 tahun dia telah bekerja sebagai buruh pembakar batu di salah satu tempat pembakaran yang ada di Kampung Gunungmasigit. Dari pembakaran batu ini dia bisa memperoleh pemasukan 500-700 ribu rupiah per borongan. Tugas dia hanya memastikan batu kapur yang dibakar terus menyala selama 3 hari 3 malam. Hampir selama 12 jam lamanya dia mesti bertahan dengan rekannya untuk bergantian menjaga api terus menyala sebelum dia benar-benar berisitrahat ketika perpindahan shift.

Susahnya lapangan pekerjaan dan hidup yang mesti terus berlangsung memaksa Ade untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatannya. Paparan asap hasil dari sampah plastik dan karet mesti ia hirup setiap ia bekerja. Tidak adanya jaminan kesehatan dan mahalnya pemeriksaan membuat Ade dan para pekerja lain jarang memeriksakan kesehatan mereka. Baginya, selagi masih bisa bekerja dan tertawa menandakan dirinya masih sehat.

Paparan asap dari pembakaran serta debu kapur yang berterbangan tidak hanya dimiliki oleh para pekerja saja, rumah-rumah warga yang berdekatan dengan kawasan pertambangan seperti yang berada di kampung Cibihbul, Cisaldah dan Gunungmasigit pun terkena dampak yang sama. Masyarakat sekitar harus terpaksa terbiasa dengan keadaan demikian karena tanah yang mereka tinggali memiliki sejarahnya sendiri.

Aktivitas pertambangan yang merupakan sumber penghasilan bagi sebagian masyarakat sekitar kawasan Karst Citatah ini nyata mengakibatkan keruskan alam. Kawasan perbukitan Karst Citatah semakin hari semakin terkikis merubah bentuk aslinya bahkan rata sejajar dengan jalan sekitar. Keruskan yang terjadi merupakan sumber penghasilan bagi sebagian masyarakat sekitar.

Fakhri Fadlurrohman

0000_0000_00000000(2)-011

Dilahirkan dengan nama Fakhri Fadlurrohman acap kali dipanggil ewok oleh teman-teman. Pertama kali belajar fotografi saat masuk kuliah jurusan Jurnalistik UIN Bandung melalui Photo’s Speak pada tahun 2018, saya mulai menyenangi foto-foto mengenai humanisme dan keadaan sosial.