5 Months Before

scroll down

Pada bulan April di tahun 2012, Ibu meninggal di Bali dalam tidurnya setelah mengeluh “ngantuk dan capek.” Setelahnya Ia tidak pernah bangun lagi dan betul-betul beristirahat. Kepergian alm. Ibu meninggalkan banyak pertanyaan, kesedihan dan kemarahan bagi kami (anak-anak dan suaminya) yang pada saat itu sedang tinggal berjauhan. Pasalnya Ibu pergi dari rumah dengan tiba-tiba 5 bulan sebelumnya, meninggalkan saya, Ayah dan adik perempuan saya. Ibu diketahui ada di Bali menyusul kakak saya setelah beberapa minggu setelahnya. Selama 5 bulan tersebut kami hanya berkomunikasi via telepon. Kami berjanji untuk bertemu selepasnya saya menyelesaikan sidang skripsi saya, banyak pertanyaan yang mungkin disertain rasa sedih dan kemarahan ingin saya ungkapkan kepada Ibu. Namun berita kepergian Ibu mengakhiri semua itu. Air adalah kenangan terakhir yang saya ingat saat akhirnya saya bertemu dengan Ibu secara fisik, saya dan adik memandikan tubuhnya yang saat itu sudah dingin di kamar jenazah.

10 tahun berlalu, kakak saya tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak merah berisikan beberapa peninggalan Ibu yang ternyata masih ia simpan. Menelusuri benda-benda dan beberapa artefak dalam kotak tersebut telah membuka kembali kenangan dan tumpukan pertanyaan yang lama saya simpan.

Potret Mama di hari pernikahannya.

Foto Mama dan Eva (kakak perempuan saya) sewaktu kecil.

2 peniti dan 3 kancing baju yang saya temukan dalam kotak merah kepunyaan Mama. Benda-benda kecil ini mengingatkan saya pada kebisaan Mama menjahit dan memperbaiki baju-baju kami yang rusak.

Buku merah kecil dengan tulisan tangan Mama. 5 bulan terakhirnya, ia habiskan dengan mencoba dan menulis beberapa resep makanan.

Bak pau kukus dari resep Mama yang saya coba buat di malam tahun baru imlek.

Kami berfoto bersama setelah menabur abu jenazah Mama di tengah laut pantai Sanur.

Papa dan cincin pernikahannya.

Beberapa sobekan pada surat Akta Pernikahan orang tua kami.

Chintya (adik perempuan saya) bercerita bahwa ia bermimpi tidur di pangkuan Mama setelah ia mendapat kabar Mama meninggal.

Potret Erik, kayak laki-laki saya yang tertua. Dalam proses mengerjakan proyek foto cerita ini saya terdorong untuk mengobrol lebih banyak dengan dia. Hingga saya menyadari banyak beban dan ekspektasi dari orang tua kami yang ditaruh kepada Erik.

Rumah yang dulu ditempati Ibu selama 5 bulan di Bali.

Selama beberapa hari saya mengambil waktu memotret beberapa pantai yang menurut informasi kakak, ia sering pergi ke sana. Saya menggunakan salah satu kacamata Mama yang retak untuk memberi efek seperti “mimpi” dan kemungkinan apa yang Mama lihat selama ada di pantai tersebut.

Surat cinta Papa yang ditulis untuk Mama saat mereka ikut reatreat camp keluarga dari salah satu gereja.

Potret saya dengan kotak merah peninggalan Mama.

Perasaan kehilangan dan posisi kosong yang saya rasa tidak dapat diisi oleh sosok lain.

Air adalah ingatan terakhir yang saya miliki tentang Mama.

Pelukan terakhir. Potret Mama yang kami gunakan untuk ibadah penghiburan.

Shindy Lestari

Shindy_Portrait5x6

Shindy Lestari is a full-time Mom and a documentary photographer based in Bali, Indonesia. Since 2015 she has attended and finished some photography workshops in the Philippines and Indonesia. In 2022 she got selected as one of the participants in Panna Future Talents 2022, where in the same year her ongoing photo series were exhibited at the Solo Photo Festival.