Cerita Kami
Disabilitas Berkarya
Pengantar Cerita
Tahun 2016 saya mulai aktif mendampingi mereka untuk membuat batik.
Dalam proses berlangsungnya kegiatan ada saat mereka mulai jenuh. Awalnya mereka pinjam ponsel untuk main game, namun karena di ponsel tidak ada ada game maka saya arahkan untuk memotret.
Teknik pertama yang mereka pelajari yaitu levitasi dan ternyata mereka suka dan kagum. Mungkin mereka kagum karena kok bisa terbang dan dari situlah kereuan dimulai. Beberapa foto saya cetak, lalu diberikan ke mereka. Mereka pun tertawa melihat hasil cetak fotonya sejak dari situ program kegiatan saya beri hashtag ‘seruhore.’ Semenjak itu, seusai membatik ada tambahan kegiatan memotret. Dua anak yang antusias memotret yaitu Pina dan Omay. Mereka bergantian memotret.
Dari memotret levitasi mulai saya arahkan memotret ke benda-benda yang ada di sekitaran Pondok Sosial Kalijudan.
Masuk tahun 2017, Kiking mulai aktif dan semangat untuk memotret. Sekitar pertengahan tahun 2017 Mukidi mulai gabung untuk memotret. Sementara masih ada satu kamera poket dan satu ponsel. keduanya itu digunakan bergantian. Berjalannya waktu, Kiking dan Mukidi karya-karyanya lebih menonjol dibandingkan dua yang lainnya yaitu Pina dan Omay.
Di tahun 2018, saya mulai ajak Kiking dan Mukidi memotret diluar lingkungan Pondok Sosial Kalijudan. Perkembangan mereka semakin pesat.
Komunikasi merupakan kendala utama proses kreatif yang kami bangun,karena sama-sama tidak bisa berbahasa isyarat. Namun perlahan kendala itu mulai berkurang, intensitas pertemuan sedikit banyak membuat kami bisa saling memahami. Kami pun menciptakan bahasa isyarat yang hanya kami yang paham.
Bahasa visual pun turut hadir, dengan cara saya menunjukkan karya-karya foto yang bagus dan mereka “mampu untuk meniru”. Ini awal pembelajaranya. Melihat Youtube pun sering kami pilih sebagai tempat mempelajari proses pemotretan.
Pada Agustus 2019, Kiking dan Mukidi berkesempatan mengikuti Workshop fotografi yang diadakan oleh UNICEF dan Pemkot surabaya. Workshop diikuti 21 peserta dari berbagai sekolah SD, SMP, SMA di Surabaya. Sementara Kiking dan Mukidi yang mewakili Pondok Sosial Kalijudan. Dari workhsop itu, Kiking mendapatkan penghargaan The Best Photographer. Workshop diisi materi fotografi oleh Giacomo Pirozzi, fotografer profesional UNICEF berkebangsaan Italia yang sudah 21 tahun keliling dunia. Karya-karya dari workshop dipamerkan di Jerman yg diikuti oleh beberapa negara. Termasuk karya dari anak anak Indonesia.
Proses belajar pun terus berlangsung hingga kini. Sebagai bentuk memperkenalkan karya mereka kepada publik, saya buat IG dengan nama Disabilitas Berkarya, sebagai ruang bagi siapa saja belajar, bahwa walau tidak sempurna mereka bisa seperti yang lainnya dalam fotografi. Kini dari dua pembelajar menjadi lima. Semoga akan terus bertambah banyak.
— Arief Budiman, Mentor
Catatan Editor
Melihat teman-teman Disabilitas Berkarya seperti meneguhkan keyakinan kami bahwa fotografi itu bukan monopoli satu kelompok, semua bisa bersenang-senang dan mendapatkan pengalaman yang berbeda dalam melihat dunia.
Pertemuan dengan karya-karya mereka pertama kali kami lihat di IG Disabilitas Berkarya dan karya-karya yang dihasilkan sungguh mengagetkan dan menumbuhkan decak kagum. Bukan tanpa alasan memang, karya-karya tersebut menampilkan visual yang bersifat personal dan berani.
Kelima orang dari Disabilitas Berkarya merupakan penghuni Lingkungan Pondok Sosial Kalijudan, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Sebuah tempat yang dibangun Pemerintah Kota Surabaya bagi anak-anak yang terlantar. Dari kelimanya, satu penyandang down syndrome dan empat penyandang bisu tuli.
Sejumlah program pemberdayaan dilakukan agar mereka mempunyai pengetahuan agar kelak bisa digunakan saat kembali ke masyarakat. Program tersebut salah satunya yaitu fotografi.
Bersama Arief Budiman atau akrab di panggil Leo, belajar fotografi dimulai berlangsung sejak 2016. Bermula dari keingintahuan anak-anak saat melihat kamera, Leo pun kemudian berinisiatif untuk memperkenalkan lebih dalam lagi fotografi. Perjalanan yang tidak mudah tentunya. Selain kendala bahasa, juga keterbatasan alat.
Namun pembuktian diri teman-teman Disabilitas Berkarya membuat banyak pihak menyumbangkan kamera.
Jika dalam karya seni yang patut dinilai adalah dari hasil akhirnya, bukan siapa yang membuatnya, tentu karya tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi sama dengan siapapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang fotografer. Kami pun menjauhkan diri dari intervensi kepada karya-karya mereka, termasuk upaya memberikan judul pada tiap foto. Dalam konteks proses berkarya, imaji-imaji yang ditawarkan justru melampaui sekat-sekat judul foto.
“Cerita Kami” yang kemudian jadi penanda pameran, justru hadir dari keluwesan interpretasi dari apa yang akan mereka sampaikan, dari foto-foto tersebut, kita dibebaskan memberi arti untuk kemudian diajak berkeliling di dunia mereka yang sepi namun penuh warna.
Satu foto bergambar tangan yang jarinya membentuk tanda hati, dengan latar belakang gambar rumah yang dibuat dengan sederhana karya dari Kiking kami pilih sebagai gerbang awal cerita tentang mereka.
Ketidakmampuan untuk mendengar dan bicara, membuat mereka memaksimalkan penglihatan mereka dalam menangkap objek fotografi. Dalam satu peristiwa banyak dari mereka berhasil menghadirkan berbagai kemungkinan dalam memotret. Kami menyebut kemampuan tersebut sebagai sebuah kelebihan.
Kami menyadari bahwa penyandang disabilitas juga butuh ruang untuk diapresiasi, untuk itulah kami dari Melihat Bersama dengan tangan terbuka mengajak mereka untuk datang mewarnai dinding-dinding galeri maya yang kami miliki dengan foto-foto yang mereka hasilkan.
Selain sebagai tempat mereka unjuk diri, ruang ini juga kami dedikasikan kepada sang guru yaitu mas Arief Budiman dan siapapun yang terlibat di dalamnya yang telah membawa energi dan positif melalui fotografi bagi mereka para Disabilitas Berkarya.
Kami harap, semangat itu akan memberikan energi postif pula bagi kita semua yang melihat untuk memberi ruang dan dukungan bagi siapa saja yang memerlukannya.
Gallery
Artists

Kiking

Mukidi

Jacky

Pina

Omay
Mentor
